Friday, July 3, 2009

(6) Little Miss Ego

Majalah Beauty itu masih tergeletak di meja kantorku. Sampulnya sudah lecek, juga halaman-halaman di dalamnya. Sudah beberapa hari ini aku melakukan self torturing, yaitu mencari-cari halaman yang dimaksud. Halaman yang memuat foto-foto mesra Sasya dengan Dewa di berbagai pesta-pesta sosialita Ibukota.

Rasa sakit setiap melihat foto-foto itu seperti candu buatku, karena aku melihatnya lagi dan lagi. Aku seperti menabur garam di atas luka yang masih basah. Ya, kegiatan tolol yang entah kenapa tak bisa berhenti aku lakukan. Apa yang ingin kulihat coba? Foto itu tidak akan pernah berubah. Dewa tetap di situ. Dewa tetap ada di sisi Sasya. Dan satu hal yang pasti, senyum Dewa tidak akan pernah berubah. Dia tidak akan menjadi cemberut setelah kulihat belasan kali. Dia akan selalu tersenyum, dia akan selalu terlihat sangat bahagia.

Sampai kapanpun juga.http://jeunglala.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif

"Terus maumu apa, Jan?" tanya Yasmin setelah dia mengetahui kalau aku masih membolak-balik majalah itu dengan sebal. "Elo sendiri kan, yang mutusin Dewa?"

"Iya, Yasmin.. Iya..."

"Dewa berhak untuk moving on, kan?"

"Gue ngerti, Yasmin... Paham, gue paham..."

"Nah, sekarang gue tanya sama elo. Mau sampai kapan elo bolak-balik majalah kayak orang sinting gini?"

"I don't know, Yasmin."

"Nah, silahkan aja elo ngebuang waktu lo cuman untuk bolak-balik halaman majalah sampai bego," kata Yasmin dengan tegas. "Kalau elo emang masih segitunya sama Dewa, kenapa lo nggak bilang aja ke Dewa, sih? Ask him back,barangkali?"

"Dan gue menjilat ludah gue sendiri?"

Yasmin menggelengkan kepalanya. "Jani, Jani. Sepenting itu ya, harga diri elo buat ngaku ke Dewa kalau he still means the world to you?"

Kami berdua terdiam. Yasmin memandangi wajah gue seperti ahli yang sedang meneliti DNA. Wajahnya terlihat serius.

"The world's not just revolving under your feet, Jani. Kadang, elo harus mikirin orang lain bukan cuman diri elo sendiri...."

***

Dunia memang seolah bergerak di bawah kakiku sendiri. Tidak peduli dengan orang lain, aku hanya peduli pada diriku sendiri, pada perasaanku, pada masa depanku, pada kesakitanku.. Aku akan berbuat apapun caranya untuk menjaga diriku sendiri dari perasaan-perasaan yang tidak nyaman. Aku berbuat apapun caranya supaya aku bahagia, tanpa memedulikan orang lain.

Aku takut sakit hati, tapi aku melukai hati Dewa.
Aku takut ditinggalkan Dewa, tapi aku memilih untuk meninggalkannya.
Aku ingin merasa bahagia, tapi aku tak ingin melihat Dewa bahagia dengan orang lain.

Bukankah itu sama saja dengan egois namanya?

Harusnya aku tahu dan segera menyadari, kalau hidup ini bukan panggung Sandiwara dengan satu pelakon utama saja. Tapi, semua manusia yang hadir adalah para pelakon utama. Tidak ada pemeran pembantu, tidak ada figuran. Semuanya pelakon utama untuk panggung sebesar dunia ini. Jadi aku semestinya tidak boleh egois dan merasa besar kepala kalau aku-lah pusat dari segala perhatian di dunia!

Ah,

Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang?

Menelepon Dewa dan mengucapkan "Selamat ya, Wa... Kamu jauh lebih bahagia sekarang..."

Atau,

Diam saja dan perlahan-lahan mencoba melupakan perasaanku buat Dewa sebelum benar-benar tulus mengucapkannya?

God! Aku butuh kopi sekarang! Tiga cangkir sekaligus!

(5) Single and Happy

Langit sedang mendung, pagi ini. Sendirian, aku berjalan keluar dari mobil menuju lift yang akan membawaku sampai ke lantai delapan belas, tempat kantorku bermukim. Hari memang masih terlalu pagi sehingga suasana masih sangat sunyi. Begitu sunyi, sehingga aku bahkan terganggu dengan bunyi ketukan hak stiletto sembilan sentiku sendiri.

Terlalu pagi datang di hari Sabtu yang dingin, tentunya bukan pekerjaan yang menyenangkan. Aku membayangkan tidur meringkuk di dalam selimut atau menonton televisi di ruang depan sambil mengunyah kacang rebus yang baru diangkat dari atas kompor, tentunya lebih nikmat ketimbang harus mengurus deadline untuk bulan ini.

Team kecilku akan mempresentasi final lay out untuk edisi bulan Juni yang akan tayang beberapa hari lagi. Edisi kali ini adalah tentang brides in style, sehingga isinya nggak jauh-jauh dari urusan baju pengantin, rias pengantin, katering, bridesmaid, persiapan mental menikah, betulkah dia adalah pasangan yang tepat, bagaimana menghadapi malam pertama, dan tentunya koleksi-koleksi baju pengantin, mulai dari pengantin Jawa Basahan sampai gaun cantik plus elegannya Vera Wang. Semua dikupas habis di edisi Juni nanti dan pagi ini aku musti menguatkan hati untuk nggak terlalu terbawa perasaan hanya karena aku sedang tidak mood untuk bicara soal cinta apalagi kawin-kawinan segala.http://jeunglala.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif

Aku masuk ke dalam lift dengan agak tergesa. Meeting akan dimulai sepuluh menit lagi. Nggak enak kalau membuat orang lain menunggu. Oh, tentu saja karena aku tahu bagaimana capeknya kalau harus menunggu. Capek fisik, juga mental. Males.

Ketika pintu lift terbuka persis di lantai delapan belas, aku mendapati office boy, Pak Dadang, melemparkan senyumnya lalu berkata, "Eh, Mbak Anjani masuk kantor.. Saya kira libur..."

"Nggak kok, Pak. Pagi ini ada meeting. Mm, mereka sudah ada di ruangmeeting ya, Pak?" Aku celingukan melihat kantor yang masih sepi. Heran juga, padahal sepuluh menit lagi meeting akan segera dimulai.

"Oh, mereka sudah di dalam ruang meeting, Mbak."

"Ampun! Saya terlambat kalau gitu, Pak..." Aku segera berpamitan dengan Pak Dadang yang entah ngomong apa lagi sesaat setelah aku angkat kaki dari depannya. Samar-samar aku cuman mendengar kata-kata ini, "Ada kiriman buat Mbak Anjani..."

Entahlah, kiriman apa. Entahlah, dari siapa. Yang penting aku sekarang harus segera sampai di ruang meeting, minta maaf karena terlambat, dan segera mempersilahkan team untuk mempresentasikan final lay outnya supaya aku bisa cepat pulang ke apartemen, lalu melanjutkan ngorok sampai pagi lagi!

I am truly single now.

Sudah tak perlu lagi repot-repot menata rambut, memoles make up, dan memilih pakaian yang cantik untuk dikenakan untuk berkencan.

The game is over.

Tanpa terasa, sudah dua bulan ini, Dewa pun sudah mulai menghilang perlahan dari kehidupanku...

***

Meeting berjalan lebih alot daripada yang aku duga sebelumnya. Ada beberapa hal yang musti dibenahi sana-sini sebelum layak cetak dan dikirim ke penerbitan. Dasar moodku lagi jelek, dengan amat sangat terpaksa aku ngamuk-ngamuk seharian di ruang meeting hanya karena kesalahan kecil macam salah ketik (yang seharusnya bisa hanya sekedar diingatkan, bukan dimarah-marahin seperti orang salah menempel artikel di tempat yang tidak semestinya!).

Ya, harus aku akui, sejak jauh dari Dewa, aku kembali menjadi seorang Chief Editor yang galak. Sangat galak sampai-sampai team intiku bolak-balik mendapatkan omelan karena kesalahan kecil yang mereka lakukan. Tidak ada lagi senyum yang biasa menghiasi wajahku setiap pagi, seperti saat aku menerima telepon dari Dewa, membaca sms-sms mesranya, atau melihat Dewa datang ke ruangan saat menjemputku pulang kantor dengan pakaiantrademarknya; polo shirt with jeans.

Tidak ada lagi Anjani Paramitha yang berseri-seri dengan senyum tak pernah lepas dari bibir. Kini, yang ada adalah seorang Chief Editor galak yang seolah ingin makan orang!

Aku, sih, tak peduli dengan bisik-bisik orang sekantor yang mengatakan kalau aku kembali menjadi Anjani yang dulu. Aku tak peduli dengan kata-kata mereka tentang rasa kehilangan mereka pada sosok Anjani beberapa bulan yang lalu; sosok yang selalu tertawa, tersenyum, dan menganggap hidup adalah taman bermain, bukan ladang ranjau.

Kini aku kembali menjadi Anjani Paramitha; perempuan dengan karir cemerlang, punya nightlife yang okay, dan fokus pada diri sendiri.

Bukankah dari awal aku sudah menasbihkan diriku sendiri sebagai seorang lajang yang bahagia? Kenapa juga aku musti repot-repot jatuh cinta dan menyesakkan pikiranku sendiri dengan ketakutan-ketakutan itu? I am single and very happy... Ya, I am!

mereka bilang aku pemilih dan kesepian
terlalu keras menjalani hidup
beribu nasehat dan petuah yang diberikan
berharap hidupku bahagia...

aku baik baik saja
menikmati hidup yang aku punya
hidupku sangat sempurna
I’m single and very happy
mengejar mimpi mimpi indah
bebas lakukan yang aku suka
berteman dengan siapa saja
I’m single and very happy

(Single Happy, Oppie Andaresta)

**

Sekalipun aku tidak memiliki seorang kekasih, bukan berarti malam mingguku harus habis di depan televisi sambil menonton tayangan-tayangan film drama romantis bombay lalu nangis sendirian meratapi nasib, kan? Aku malah punya waktu ekstra untuk menyenangkan diri sendiri, tak perlu ribet mencocokkan jadwal dengan seorang pacar yang mendadak kangen, mendadak kepingin nonton bioskop, atau mendadak kepingin makan kepiting saos Padang di pinggir Ancol.

Ada beberapa hal yang sudah sekian lama aku tinggalkan sejak Dewa masuk ke dalam hidupku. Meluangkan waktu seharian di sebuah salon adalah salah satunya. Ya, aku nggak ingin membuat Dewa senewen karena harus menunggui aku luluran, creambath, pijet refleksi, meni-pedi, sampai mengecat rambut segala, kan? Bisa pusing dia kalau harus menunggui pacarnya kecentilan dan bisa pusing juga aku kalau harus menunggui dia mengutak-atik mobil kesayangannya di bengkel sebagai kompensasi.

Sekarang aku bisa bebas menikmati pijitan lembut Mbak Sekar di salon langganan sambil mendengarkan musik instrumentalia dari ponsel Sony Ericcson seri W, dengan sumpalan ear phone sampai mengantuk. Di tengah asyiknya menikmati pijitan sekaligus suara musik yang indah, mendadak teleponku berbunyi. Dengan mata masih setengah terpejam, aku melihat jelas nama Yasmin di layar ponsel.

Duh! Bebek Bawel satu ini memang selalu punya cara untuk bikin me-time-ku terganggu.

"Ade ape lagi, Yas?" sapaku.

"Elo sibuk nggak?" cerocosnya.

Dilulur, dipijit, dicreambath, meni-pedi, ngecat rambut, dan merapikan model rambut, termasuk sibuk, nggak, ya?

"Hm, gue lagi ada di salon langganan, nih. Mau whole treatment, mumpung sempet. Kenapa?"

"Gue pingin ketemu, sih, Jan.."

"Mau ngapain? Mau ngejodohin gue sama cowok lain lagi?"

"Ih! Gue udah kapok ngejodohin elo, Jan! Males ah, ntar ujung-ujungnya begitu lagi. Malu gue..."

"Aduh, maaf banget, ya, Yas. Elo tau gue, kan?"

"Yah, gue pikir lo bakal berubah sama Dewa. He's not a bad guy, nggak seperti cowok-cowok di masa lalu elo itu, Jani..."

Aku pikir aku juga akan berubah. Aku pikir, setelah Dewa memohon-mohon penjelasan padaku, setelah Dewa mengatakan kalau dia sunguh-sungguh mencintaiku, dan berjanji akan selalu menungguku untuk membuka pintu hati, aku akan berubah menjadi perempuan yang tidak philophobia. Tapi nyatanya? Sama saja. Dewa akhirnya berhenti berusaha setelah lima minggu penuh aku berhenti berkomunikasi dengannya. Well, semua orang memang punya batas kesabaran. Dan Dewa berhak tidak sabar lalu pergi dari aku.

"Okay, okay. Nggak usah ngomongin Dewa, deh. Ngomongin yang lain aja, Yas."

"Duh, justru tujuan gue nelepon elu, tuh, ada hubungannya sama Dewa, Jani..."

Mendadak aku deg-degan. Kenapa dengan Dewa? Sakit, kah? Gimana dengan radang tenggorokannya kemarin. Jangan-jangan kambuh! Aduh, lambungnya yang sering protes itu, jangan-jangan sekarang mulai berdemo lagi seperti demonstran di pinggir jalan. Pasti gara-gara makan pedas! Dasar anak bandel!

Ups! Barusan tadi aku ngomel apaan, sih?

"Dewa? Kamu mau cerita apa, sih, Yas? Dia sakit?"

"Nggak, nggak. Dia sih seger buger, tapi sempet stress gara-gara elo."

"Ngaco."

"Beneran, Bencong! Beneran!"

"Terus, sekarang elo mau cerita sama gue kalau dia stress berat gara-gara gue dan elo minta pertanggungjawaban dari gue, gitu?"

"Hiyah! Najiz, najiz!" solot Yasmin. "Gue nelepon elo, maksudnya, mau bilang aja, kalau gue kasihan sama Dewa..."

"Terus?"

"Ya, elo kan tau sendiri, Jan, gue pernah bilang apa tentang Dewa Prasetya?"

"Elo ngomong banyak soal Dewa, Yas. Gue sampai lupa saking bawelnya elo saat itu."

"Aduh, Jan. Kata-kata gue yang fenomenal itu, lho.. Soal Dewa is too good to be missed..."

"Hmm... "

"Terus gue bilang, kalau gue belum tunangan sama Marcel, gue bakal embat sendiri cowok seganteng dan sebaik Dewa..."

"Iya, iya, gue inget. Tapi apa hubungannya sama gue, Yas? Elo mau putus dari Marcel terus pacaran sama Dewa, gitu?"

"Giling, lo! Biar binal gini, gue cinta mati sama Marcel, Sinting!"

"Yah, gimana dong. I'm lost nih. Elo muter-muter kayak kucing nyari buntutnya, sih!"

"Hih. Bahasa elo!" solot Yasmin sekali lagi. "Gue sengaja muter-muter gini, karena gue nggak tahu musti gimana ngomong ini ke elo, Jan..."

OK. Sampai di situ, aku benar-benar khawatir kalau kalimat-kalimat yang bakal keluar dari mulut Yasmin akan membuat aku jantungan atau stroke mendadak. Aku kenal betul gaya Yasmin kalau sedang ingin menyampaikan sesuatu tapi dia nggak berani. Sumpah, aku takut.

"Yas, better tell me now. Apa hubungannya sama gue?"

Yasmin diam sebentar. Nggak biasanya cewek bawel ini kehilangan kata-kata seperti ini.

"Yas? Jangan bikin gue panik, ya? Ada apa? Cerita sama gue..."

Dead air.

"Yas?"

Masih dead air.

"Jangan bilang karena telepon elo dibayarin Marcel, ya, jadi elo seenaknya aja diem-dieman di telepon," kataku mencoba untuk melumerkan kebekuan, sekalipun hatiku deg-degan seperti orang takut ketauan mencontek UMPTN.

"Gue nggak tahu gimana musti ngomong ke elo, Jan."

"Ngomong aja, gih. Ngomong aja..."

"Janji, elo nggak marah?"

"Janji."

"Atau ntar aja deh, kalau elo sudah sampai rumah..."

"Yas, udah deh... cut the crap. Please, cerita aja. Gue nggak kenapa-kenapa, kok. Dewa udah lewat, Yas. Gue udah nggak peduli lagi sama Dewa. I've made my decision, remember? Gue nggak akan kenapa-kenapa, Yas..."

Aku mendengar Yasmin menghela nafasnya.

"Elo kenal Sasya, nggak?" tanyanya.

"Sasya? Yang mana?" Ada beberapa nama Sasya yang aku kenal. Sasya Kania, peragawati terkenal yang beberapa kali menjadi cover majalah Life! dan tampil di cover GayaBanget! untuk edisi kedua kemarin. Rachmania Sasya,editor di majalah remaja yang aku kenal di bursa buku. Dan satu lagi, Sasya Bawel, sekretaris pimred yang hobi memakai stocking jala-jala ala nelayan.

"Sasya Kania, dong."

"Oh, Sasya yang itu. Kenapa?"

"Gue kenalin Dewa ke Sasya, Jan."

"Hmm..." Hatiku makin deg-degan.

"Karena gue nggak tega aja ngeliat cowok sebaik Dewa ngejomblo di pasaran, akhirnya gue kenalin dia ke temen-temen gue, termasuk elo..."

"Hmm..."

"Elo sih, akhirnya mundur..."

"Hmm..."

"Akhirnya gue kenalin Dewa ke Sasya, sebulan yang lalu..."

"Lantas? Apa hubungannya sama gue?"

"Jelas ini ada hubungannya sama elo, Jani. Elo kan mantannya Dewa. Gimana, sih?"

"He eh, ngerti. Tapi Dewa kan bukan siapa-siapa gue lagi, Yasmin. He's now available, on the market. Gue nggak peduli..."

Seriously, eh?

"Dia berhak berkenalan sama ribuan perempuan dan jatuh cinta dengan semua orang itu..."

You're kidding, rite?

"Dia boleh memilih salah satu dari mereka untuk dikawin sekalian..."

Now, you're totally insane, Jani!

Yasmin menghela nafasnya. "Ya udah, deh. Gue seneng kalau elo baik-baik aja. Gue cuman nggak kepingin elo patah hati saat ngeliat foto Dewa dan Sasya muncul di beberapa majalah Ibukota. Lo tau kan, Sasya itu kondangnya kayak apa?"

"Iya, gue tahu."

"Nah, gue telepon ini, untuk ngecek kondisi elo sekarang, Boss.. Gue takut aja elo shock gara-gara majalah yang gue kasih waktu itu..."

"Majalah yang mana?"

"Majalah Beauty yang gue titipin office boy kantor elo itu, Say..."

Ups! Jadi itu yang dimaksud Pak Dadang kemarin pagi? Aku tidak sempat masuk ke ruanganku karena usai meeting aku segera cabut pulang ke apartemen untuk menuntaskan kantukku.

"Di situ ada foto-foto mesra Dewa dan Sasya di berbagai pesta sosialita gitu, deh. Sasya bangga banget bisa deket sama Dewa, Jan. Sumpah, gue nggak pernah ngeliat dia sebahagia itu..."

Aku diam. Tiba-tiba kata-kataku mendadak lenyap saat hendak melewati tenggorokan. Aku hanya bisa bertanya, "Kalau Dewa, Yas? Dia gimana?"

"Hm, just check the magz and see for yourself, Jani."

"Yasmin, please... Tell me. Did he look that happy?"

"Jan..."

"Did he?" potongku.

Yasmin terdiam sejenak. "Iya, Jani. Dewa terlihat bahagia..."

Aku tahu, aku menikmati status lajangku dengan berbuat apa yang aku suka. Menikmati waktu dengan bersenang-senang dan memanjakan diri sendiri. Menraktir diriku sendiri dengan hermes bags yang mahalnya selangit. Memanjakan tubuh dengan perawatan total dari ujung folikel rambut sampai jempol kaki. Dugem semalam suntuk atau ngorok sepanjang hari.

Aku merasa sangat bahagia dengan kesendirianku.

I am single and very happy.

Tapi itu dulu.

Ya. Dulu.

Tepatnya, sebelum aku mengetahui kalau Dewa ternyata tetap bahagia, tanpa aku di sampingnya...