Friday, July 3, 2009

(4) Philophobia

Ada sebuah coffee shop di lobby gedung perkantoran tempat majalahku bernaung yang menjadi tempat favoritku dan Yasmin saat sedang suntuk, ingin memuaskan nafsu kafein, atau sekedar iseng ingin cerita-cerita. Kopi di coffee shop ini tidak sefantastis Starbucks, memang. Boleh dibilang, dengan harga satu cangkirnya yang mencapai lima puluh ribu, rasanya tidak sebanding dengan selembar uang yang kukeluarkan dari dompet. Tapi, harus diakui, posisinya yang strategis, tinggal satu kali naik lift dan meluncur sampai ke lantai lower ground, membuat aku jatuh cinta dengan coffee shop yang satu ini.http://jeunglala.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif

Dan di coffee shop inilah sekarang aku sedang duduk di sebuah sofa empuk, persis di pojokan, ditemani dengan dua cangkir kopi, selusin puntung rokok, dan seorang sahabat yang sesiangan ini bawelnya kambuh. Ya, aku ditemani Yasmin yang baru saja selesai pemotretan di kantorku.

"Gue nggak ngerti gimana jalan pikiran elo, Jan," kata Yasmin sambil berkali-kali menghisap rokoknya. Entah sudah puntung ke berapa, tapi asbak di meja kami sudah tampak penuh.

"Gue aja nggak ngerti, apa lagi elo, Yas," kataku sambil mencoba menghilangkan resah dengan menyesap larutan kopi berkali-kali.

"Elo itu sinting, Jan. Cowok sebaik Dewa masih aja lo curigain kayak maling ayam." Yasmin menekan ujung rokoknya yang sudah tinggal seperempat.

"Yas, gue sih nggak pernah punya maksud kayak gitu.."

"Terus, maksud elo apa, coba? Dengan bilang sama Dewa kalau elo kepingin sendiri aja, elo nggak bermaksud untuk nganggep dia kayak maling ayam yang nggak bertanggung jawab. Gitu?" Suara Yasmin yang meninggi membuat beberapa pasang mata segera menatap ke arah kami berdua. Okay, I don't wanna make a scene in my favorite place.

"Jangan ngajak berantem di sini, ah, Yas. Gue masih kepingin dateng ke sini besok-besok," kataku pelan.

"Abis gue sebel sama elo, Jan."

"Karena elo udah susah payah ngenalin Dewa ke gue, gitu?"

"Bukan cuman karena itu lagi, Jan. Gue nggak sedangkal itu. Gue tuh cumanmatchmaker, ngenalin kalian berdua. Urusan kalian ntar jodoh atau nggak, bukan urusan gue," kata Yasmin. "Gue sebel, karena alesan lo nggak pernah berubah dari dulu."

"Maksud lo?"

"Ah, udah deh, Jan. Sudah berapa cowok yang gue kenalin musti lo tinggalin cuman karena elo takut kalau mereka bakal sama aja kayak Farid? Sudah berapa kali elo pakai kalimat itu buat mantra penangkal cowok-cowok untuk ngedeketin elo?"

Aku terdiam. Yasmin sudah tahu luar dalam seorang Anjani. Dia benar, aku selalu menganggap semua lelaki akan sama saja seperti Farid; seorang mantan kekasih yang hampir saja aku nikahi kalau saja dia tidak ketahuan selingkuh dengan mantan pacarnya. Farid meninggalkan aku tepat ketika aku tidak ingin menjalani sisa hidupku dengan siapapun juga, kecuali dengan Farid saja. Tapi, Farid angkat kaki dari hidupku sejak dua tahun yang lalu, menyisakan luka dan trauma sampai hari ini.

"Pengalaman elo sama Farid itu boleh banget bikin elo berhati-hati, Jani. Tapi, kalau sampai bikin elo nggak bisa melangkah ke depan sama orang lain, yang jelas-jelas bukan lelaki brengsek macam Farid, itu artinya elo udah nggak waras."

Silahkan, Yas. Silahkan. Keluarkan semua kata-kata elo.

"Elo tuh philophobia. Nyadar nggak, lo?"

**

Takut jatuh cinta.

Kata Yasmin, aku philophobia alias fobia terhadap cinta. Kata Yasmin, setiap cinta mendekatiku, aku malah mengambil langkah seribu lalu berlari dari situ. Kata Yasmin, aku tidak akan bisa melangkah ke depan kecuali aku menginginkannya. Kata Yasmin, dia kecewa padaku.

Ah, Yasmin. Tidakkah kamu tahu kalau aku juga sangat kecewa pada diriku? Pada seorang Anjani Paramitha yang berkata pada Dewa Prasetya kalau aku sedang ingin sendiri dulu lalu menatap kedua bola matanya yang membelalak tak percaya dengan pendengarannya, beberapa hari yang lalu?

"Beib, kenapa tiba-tiba?" Dewa memandangku tak percaya. Mencoba memastikan kalau ia tak perlu datang ke dokter THT dengan memandang kedua biji mataku dalam-dalam.

"Nggak ada apa-apa, Sayang. Nggak ada apa-apa, kok..."

"Ah, nggak mungkin kalau nggak ada kenapa-kenapa. Pasti ada triggernya, kan?" Dewa masih mencoba untuk mencari jawaban di biji mataku. Aku sampai tak kuasa memandangnya lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.

Dewa, Dewa. Dewa Prasetya.

Apa aku harus bilang terus terang sama kamu, kalau justru saking cintanya aku padamu, sampai-sampai aku ketakutan seperti ini? Bisakah kamu percaya, kalau rasa cinta yang sedang merajai setiap sel dalam tubuhku, adalah satu alasan paling nyata mengapa aku ingin sendiri saja?

Aku takut jatuh cinta padamu, Dewa Prasetya.

Aku takut, kelak, kamu meninggalkan aku tepat ketika kamu adalah udara untuk setiap nafasku, sehingga aku megap-megap tak bisa bernafas karena kehilanganmu...

**

If you can't promise me to stay with me forever,
Then I can't promise you to let you stay here, Beib..
I am really that pathetic, aren't I?

No comments:

Post a Comment