Friday, July 3, 2009

(3) Sebuah Skenario

Namaku Anjani. Perempuan lajang usia dua puluh sembilan yang menganggap dengan ge-ernya kalau dia terlahir menjadi seorang penulis.

Menulis adalah passion terbesarku sehingga menjadi seorang penulis telah menempati urutan pertama dari beberapa prioritas hidupku. Aku selalu menempatkan pekerjaan di atas segalanya, diikuti oleh Ayah, kedua kakak, serta keponakan-keponakan tercinta, lalu kawan-kawan baikku (termasuk Yasmin yang bawel), serta financial security. Yang paling bontot, tentu saja keinginanku untuk menjadi istri seorang lelaki yang aku cintai. Ya, keinginan yang terus melorot ke bawah dari daftar prioritas hidupku, dari waktu ke waktu.http://jeunglala.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif

Sebetulnya aku nggak ingin menikah. Hidupku sudah cukup lengkap dengan apa yang kumiliki sekarang. Aku tidak muluk-muluk dengan menginginkan semuanya tercakup dalam satu bentangan pelukan. Kupikir, menikah baru akan kupikirkan nanti-nanti saja. Yang pasti, tidak sekarang. Tidak ketika aku sedang pusing-pusingnya merawat bayi kecilku yang harus kuajari bagaimana cara merangkak naik dan bisa bergaul di pasaran media. Sainganku tidak sedikit; majalah Dewi dan Bazaar adalah dua pesaing utama yang membuatku deg-degan setiap bulannya. Aku harus memeras otakku setiap hari supaya bayiku cepat tumbuh dan bisa kutinggal-tinggal.

Tapi, ya. Hidup tidak seperti skenario film yang terkadang harus mengikuti keinginan para pemain film-nya yang tidak mau ini itu, yang mau ini itu, dan sebaiknya begini begitu.

Hidup adalah skenario yang sifatnya mutlak harus dijalani, tanpa kecuali. Tanpa negosiasi. Tak menunggu mau atau tidak mau, kamera itu tetap merekam dengan gulungan pita yang tak terukur panjangnya. Just act and do your best.

Itulah yang kini aku rasakan, yang kini sedang coba aku jalani.

Tepat ketika aku sedang tak ingin jatuh cinta, seorang Dewa datang mengetuk pintu dan membuatku tak bisa merasakan apa-apa, kecuali satu. Iya. Namanya bahagia...

***

Mendadak bunyi dering ponsel menjadi sesuatu yang paling kutunggui setiap hari. Biasanya, aku malas sekali mengangkat telepon karena tidak ingin konsentrasiku buyar saat menulis. Tapi sejak Dewa semakin rajin meneleponku dan mengirimiku SMS, MMS, dan e-mails, aku menjadi seperti anak umur belasan tahun yang sedang menunggu telepon lalu terlonjak dari sofa saat ponselnya berbunyi.

Dewa biasa membangunkan aku setiap pagi, menjelang sholat Subuh. Dia cuman bilang, "Udah bangun, Beib.. Sholat dulu gih..."

Lalu beberapa jam berikutnya, sesaat setelah aku sampai di kantor, Dewa mengirim sebuah SMS yang isinya singkat saja: "Sudah di kantor, ya? Jangan lupa sarapan. Ini aku masih otw ke kantor..."

Menjelang jam makan siang, seringkali dia menjemputku untuk mengajak makan siang bareng.

Pulangnya? Oh, hampir setiap hari dia datang ke apartemen, sekedar untuk nonton teve kabel atau makan malam di rumah dengan masakan yang sudah dia beli sebelum sampai ke apartemenku.

Dewa baru pulang di atas pukul sepuluh malam. Sejam berikutnya, dia meneleponku cuman untuk mengabari kalau dia sudah sampai di rumahnya, lalu bilang, "Makasih buat malam ini, ya, Beib. Can't wait to see you again tomorrow..."

Dua puluh empat jam sehari.

Tujuh hari dalam seminggu.

Sebanyak itulah waktu yang telah kupersembahkan untuk Dewa. Aku tahu, pekerjaanku tetap nomor satu. Aku tahu, menjadi chief editor dari sebuah majalah yang masih edar tiga kali itu memiliki tanggung jawab yang tidak sedikit. Aku memahami betul kalau aku tidak boleh melupakan tanggung jawabku itu dengan terlalu banyak meluangkan waktu buat Dewa, lelaki yang baru kukenal tiga bulan yang lalu, hasil percomblangan sahabatku, Alodya Yasmin.

Tapi entahlah.

Kalau tadinya aku begitu peduli dengan karir yang sudah kubangun sedemikian rupa, dengan susah payah, musti berjuang ke sana sini demi mendapatkan credit di dunia media, kini aku tak lagi ngotot, ngoyo, dan merasa hidupku menjadi jauh lebih tenang.

Ya.

Sejak kehadiran Dewa dalam kehidupanku, aku tertawa sendiri dengan skenario yang sudah kubuat sejak dua tahun yang lalu. Sejak Farid memutuskan hubungan, aku telah menciptakan sebuah Maha Skenario yang tidak melibatkan cerita romansa di sana. Di situ hanya ada mimpi-mimpi tentang membahagiakan keluarga, teman-teman, dan memperoleh pekerjaan impian.

Dan memang, aku cuman penulis skenario amatiran yang musti tunduk pada Sutradara yang Maha Kuasa membolak-balikkan rencana dan hati manusia.

Karena sejak Dewa mengisi tiga bulan terakhir dalam hidupku, tiba-tiba, keinginan menikah meroket naik ke puncak klasemen sementara dalam daftar prioritas hidup saat ini.

Oh Tuhan.

I don't even know him. Not much.

Aku takut kalau Dewa adalah seorang Farid dalam kemasan yang berbeda...


No comments:

Post a Comment